Mengelola Marah Ala Rasulullah
Siapapun di antara kita pernah marah.
Bisa jadi ada seseorang yang bereaksi begitu berlebihan ketika emosinya
tersinggung dan lalu marah besar. Yang lainnya mungkin mengekspresikan marahnya
dengan mengumpat-umpat tak berhenti. Dalam prosesnya ada orang marah yang mudah
segera mengendalikan dirinya. Namun ada juga yang sukar. Lalu apakah
marah perlu dikelola? Seperti halnya pada stres? Bukankan perilaku marah
itu buruk? Apa untungnya?
Marah
Menurt Ilmu
Psikologi
Marah dapat dikatakan sebagai reaksi
kuat atas sesuatu yang tidak menyenangkan dan mengganggu pada seseorang.
Ragamnya mulai dari kejengkelan yang ringan sampai angkara murka dan mengamuk.
Ketika itu terjadi maka detak debar jantung semakin cepat, tekanan darah dan aliran
adrenalin juga meningkat. Kalau sudah begini bisa-bisa perubahan psikologis
akan menyebabkan timbulnya reaksi agresiv dan perlakuan kasar dari sang
pemarah. Akibat bagi dirinya akan berbentuk emosi dan enerji sosial yang
semakin rusak. Lebih jauh interaksi sosial positif bakal terganggu. Akan timbul
fenomena amarah yang berantai ke orang lain. Itulah sebabnya mengapa marah
sebaiknya dikelola menjadi hal yang konstruktif. Tahap awal adalah memahami
mengapa amarah bisa terjadi pada seseorang.
Walau bersifat alami dan normal
namun marah tidak timbul dengan sendirinya. Ia merupakan respon dari seseorang
ketika mendapat ancaman, hal yang membahayakan, kekerasan verbal, perlakukan
tidak adil, kebohongan dan manipulasi oleh orang lain. Dengan kata lain marah timbul
karena batas-batas emosi yang kita miliki telah terganggu atau terancam. Secara
internal, marah bisa terjadi ketika menghadapi masalah-masalah pribadi,
mengingat peristiwa yang sangat mengganggu pikiran, kekecewaan pada situasi
lingkungan, kurang percaya diri, dsb. Sementara secara eksternal, marah bisa
timbul karena menghadapi kepadatan lalulintas, mendapat ancaman, hak-hak
pribadinya diperlakukan tidak adil,dsb.
Belajar Menahan Marah Dari Rasulullah
“Dan
bersegeralah menuju ampunan Allah yang memiliki surga yang luasnya seluas
langit dan bumi yang dijanjikan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu)
orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun di waktu
sempit, dan orang-orang yang suka menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan)
orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS Ali
Imran [3]: 134)
Dari Abu Hurairah, bahwasanya seorang
laki-laki berkata kepada Nabi SAW, “Berilah nasihat kepadaku.” Rasulullah
bersabda, “Janganlah kamu marah.” Lalu Rasulullah mengulanginya, “Janganlah
kamu marah.”
Demikian pula dalam
Hadis lain disebutkan, “Tidaklah
seseorang dikatakan pemberani karena cepat meluapkan amarahnya. Seorang
pemberani adalah orang yang dapat menguasai diri dan nafsunya ketika marah.”
Sekuat apapun ibadah ritual seseorang, jikalau dia pemarah, maka tetap akan
rusak imannya. Kerugian pemarah di antaranya adalah dalam pergaulan ia tak
disukai karena para pemarah itu wajahnya tampak tak menyenangkan. Kata-katanya
pun kotor dan keji. Bahkan sampai-sampai ia pun seringkali tak sadar apa yang
dikatakannya.
Kalau seorang
pemarah menjadi pemimpin maka dia tidak akan sukses sebab dia akan diikuti
bukan karena kemuliaannya, tapi karena ditakuti. Keputusannya cenderung tak
adil karena seringkali emosional. Bila berbeda pendapat, selalu ingin
memuntahkan ketidaksukaannya. Singkatnya, pemimpin yang pemarah sebenarnya
sedang menunggu waktu untuk jatuh. Seorang ibu yang pemarah akan menularkan
budaya buruk terhadap anak-anaknya. Keturunannya akan memiliki dua kemungkinan.
Pertama, menjadi pendiam dan beku karena stres.
Kedua, menjadi
kasar dan suka berontak. Kalau banyak guru yang pemarah, maka tak usah heran
bila murid-muridnya sering tawuran. Bisa jadi salah satu penyebabnya adalah
para gurunya kurang mampu memberikan teladan dan menyejukkan hati para
muridnya. Pendek kata, para pemarah itu akan membawa bala dan ini tak
dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Lalu, bagaimana Rasulullah yang mulia
menyikapi marah? Bila masalah pribadi yang dihina, maka beliau selalu
memaafkan. Tetapi bila masalah agama dihina, maka beliau akan marah dan selalu
siap membela.
Beliau sempat marah
ketika perang Hunain berakhir karena kaum Anshar merasa kecewa dan menganggap
Rasul tidak adil. Penyebabnya adalah pembagian ghanimah yang sebagian besar
diberikan kepada kaum Muhajirin, orang-orang yang baru masuk Islam di Mekkah,
dan bukan kepada kaum Anshar. Rasulullah kala itu memerah mukanya sampai-sampai
berkata, “Jikalau Allah dan
Rasul-Nya dianggap tak adil, maka siapa lagi yang adil. Padahal mereka pulang
dengan hanya membawa harta, sedangkan kalian pulang dengan membawa Rasulullah.”
Singkat tetapi
mempunyai makna mendalam dan tak menyakiti siapapun, bahkan membangkitkan
kesadaran. Rasul marah dengan alasan dan cara yang benar, juga pada saat yang
tepat, hingga hasilnya bermanfaat. Allah memang menciptakan manusia dengan
’software’ gembira dan cinta, juga perasaan sedih dan marah. Dengan marah kita
bisa membela keluarga, agama, atau orang-orang yang lemah. Misalnya dalam
perang melawan yang batil –emosi termasuk salah satu bagian penting. Jika
tidak, justru berbahaya karena tak bisa membela atau membangkitkan semangat.
Pemarah itu ada
empat jenis. Pertama, orang yang cepat marahnya, tapi lambat redanya. Kedua,
orang yang lambat marahnya dan lambat pula redanya.
Ketiga, orang yang
cepat marahnya dan cepat pula redanya. Keempat, orang yang lambat marahnya,
tapi cepat redanya. Tentunya kita berupaya untuk memilih yang terakhir. Maka
dari itu tahanlah sekuat-kuatnya jikalau kita akan marah. Perbanyak istighfar,
ta`awudz, atau segera berwudhu. Jangan biarkan kita berada di tempat yang
memancing kemarahan. Kalau sudah telanjur marah sebaiknya bertobat.
Kalaupun harus
marah, niatnya adalah bagaimana agar orang yang bersalah bisa berubah menjadi
lebih baik tanpa terlukai, tanpa kita berbuat zalim. Kemudian janganlah
sekali-kali menyikapi orang yang sedang marah dengan kemarahan lagi. Maklumi
dan pahamilah terlebih dahulu. Memahami bukan berarti melazimkan atau
melayakkan sifat pemarah, tetapi untuk meminimalisasi peluang untuk saling
merusak.
Sumber :
http://www.resmiadi.com/ketika-rasul-saw-marah/
0 komentar:
Posting Komentar